BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Konsekuensi
diberlakukannya negara kesatuan atau Unitary
State atau eenheidstaat, maka
Indonesia tidak memiliki negara dalam negara seperti yang dimiliki negara yang
berbentuk federasi. Negara Kesatuan adalah suatu bentuk negara dimana kekuasaan
atau kedaulatan negara sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah pusat, namun dalam
pelaksanaan kekuasaan dan kedaulatannya tersebut dapat melimpahkan sebagian
kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan sistem
desentralisasi). Dengan demikian keterikatan antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah tidak mungkin dilepaskan (Budiardjo1995).
Indonesia
menganut model negara kesatuan yang menerapkan desentralisasi. Penegasan ini
terlihat dalam UUD 1945 pasal 18 yang menyebutkan bahwa: “pembagian daerah
indonesia atas besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) dengan memandang dan mengingat dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam
daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
Berpijak
pada hal itu, maka sepanjang kurun waktu pelaksanaan pemerintahan di Indonesia,
setiap rezim pemerintahan berupaya melaksanakan amanat itu dengan menerapkan
sistem desentralisasi disetiap masa pemerintahan. Meskipun dengan derajat
desentralisasi yang berbeda-beda. Penerapan itu diwujudkan dengan
diberlakukannya UU mengenai pemerintahan daerah dari masa ke masa, diantaranya:
UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No.1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun
1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004, dan UU
No. 23 Tahun 2014.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam penyusunan
makalah ini, yaitu sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian dari desentralisasi ?
2.
Bagaimana
konsepsi otonom dalam sistem federalisme dan unitarianisme?
3.
Apa saja
jenis-jenis dari desentralisasi?
4.
Bagaimana
bentuk desentralisasi dan implikasinya?
5.
Bagaimana
studi empiris desentralisasi di Indonesia?
6.
Apa saja
tujuan dari desentralisasi?
7.
Apa saja
bentuk kegiatan utama dari desentralisasi?
8.
Bagaimana
dampak daripada bentuk pemerintahan desentralisasi?
C. TUJUAN
Adapun tujuan dalam penyusunan makalah ini,
yaitu agar pembaca:
1.
Pengertian
dari desentralisasi
2.
Konsepsi
otonom dalam sistem federalisme dan unitarianisme
3.
Jenis-jenis
dari desentralisasi
4.
Bentuk desentralisasi
dan implikasinya
5.
Studi
empiris desentralisasi di Indonesia
6.
Tujuan
dari desentralisasi
7.
Bentuk
kegiatan utama dari desentralisasi
8.
Dampak
daripada bentuk pemerintahan desentralisasi
D. MANFAAT
Adapun manfaat dalam penyusunan makalah ini,
yaitu supaya pembaca:
1.
Pengertian
dari desentralisasi
2.
Konsepsi
otonom dalam sistem federalisme dan unitarianisme
3.
Jenis-jenis
dari desentralisasi
4.
Bentuk
desentralisasi dan implikasinya
5.
Studi
empiris desentralisasi di Indonesia
6.
Tujuan
dari desentralisasi
7.
Bentuk
kegiatan utama dari desentralisasi
8.
Dampak
daripada bentuk pemerintahan desentralisasi
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DESENTRALISASI
Desentralisasi
berasal dari bahasa Latin, yaitu: “de”,
yang berarti lepas dan “centrum” artinya
pusat. Decentrum berarti melepas dari
pusat. Meski demikian, desentralisasi tidak berarti putus sama sekali dengan
pusat, tetapi hanya melepaskan kendali (daam hal urusan/kewenangan) dari pusat.
Penyerahan sebagian kewenangan politik dan administrasi pada jenjang organisasi
yang lebih rendah disebut desentralisasi. Sehingga desentralisasi dapat
diartikan sebagai penyerahan wewenang politik dan administrasi dari puncak
hierarki oragnisasi (pemerintah pusat) kepada jenjang dibawahnya (pemerintah
daerah).
Implikasi
dari adanya asas desentralisasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintah adanya
hak dan kewajiban yang bersifat otonom, maka lahirlah apa yang kita kenal
dengan otonomi daerah (untuk sistemnya), dan daerah otonom (untuk
pelaksananya).
Dalam
pemahaman masyarakat umum, istilah desentralisasi dengan otonomi daerah sering
dipertukarkan. Sesungguhnya, kedua konsep tersebut tidak persis sama. Kebijakan
otonomi hadir karena adanya kebijakan desentralisasi. Otonomi diartikan sebagai
kebebasan masyarakat yang tinggal di daerah yang bersangkutan untuk mengatur,
dan mengurus kepentingannya yang bersifat lokal bukan yang bersifat nasional.
Perbedaan
lainnya adalah mengenal daerah otonom dengan otonomi daerah. Daerah otonom
menunjuk pada daerah/tempat (geografi) yang memiliki hak dan kewajiban untuk
mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa “ Daerah otonom, selanjutnya disebut
daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah
yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem negara kesatuan republik indonesia”.
Sedangkan,
otonomi daerah menunjuk pada isi otonom/kebebasan masyarakat, atau dapat pula dikatakan
sebagai sistem. Dalam UU No. 32 Tahun 2004; dinyatakan bahwa, “ otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan”.
Charles
Einsenmann (dalam Suryanto, 2008:18), menjelaskan bahwa otonomi adalah
kebebasan untuk membuat keputusan sendiri dengan tetap meghormati perundang-undangan.
Otonomi dilaksanakan dalam sebuah negara dengan menghormati peraturan yang
berlaku yang menjamin hak-hak dasar dan kebebasan nasional. Dari hal ini
sebaiknya dilihat sebagai bagian dari tatanan (sub-state arrangement) yang membiarkan kelompok minoritas untuk
melaksanakan hak mereka dan menunjukkan identitas kultural dengan menjamin
kesatuan, menjunjung kewibawaan dan integrasi wilayah.
Menurut
UU NO. 23 TAHUN 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh
Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi.
Merujuk
pada uraian diatas, perbedaan besar antara konsep desentralisasi dengan otonomi
adalah desentralisasi, disebutkan
sebagai suatu pendelegasian kewenangan melalui alat legislatif dari pemerintah
pusat kepada ‘otoritasindependen’, sedangkan otonomi mencakup beberapa wilayah sebagai dampak dari adanya
pelimpahan kewenangan secara murni, misalnya suatu pemisahan tanggung jawab.
B. KONSEPSI OTONOMI DALAM SISTEM FEDERALISME
DAN UNITARIANISME
1.
Negara
Serikat (Federalisme)
Praktek desentralisasi di negara federal dengan
negara kesatuan tentu berbeda. Prinsip dasar yang dianut pada sistem
federalisme adalah non-sentralisasi
(lihat Suryanto, 2008:15). Artinya bahwa pada sistem federalisme, asas
desentralisasi merupakan principal basic
yang mendasari praktek penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini menyangkut asal
kedaulatan dari negara tersebut. Kedaulatan yang dimiliki oleh negara federal
berasal dari negara-negara berdaulat yang menyerahkan kewenangan sisa kepada
pemerintah nasional (pusat) untuk dikelola bagi kepentingan bersama.
Negara-negara berdaulat tersebut, bersepakat untuk
menggabungkan diri dalam satu kesatuan negara yang lebih besar sebagai pusatnya
yang dikenal dengan sebutan negara serikat. Selanjutnya, negara-negara yang
berdaulat tersebut, pada akhirnya menjadi bagian dari negara serikat, yang
secara umum dikenal dengan negara bagian. Di Amerika serikat disebut dengan “state”, di jerman disebut dengan “lander”. Kedaulatan pada pemerintah
nasional (pusat) tidak bersifat tunggal, karena negara-negara bagian di dalam
wilayah negara tersebut juga memiliki kedaulatan ke luar meskipun terbatas.
Kewenangan dari pemerintah, nasional adalah
menyangkut hal-hal yag menjadi wewenang kesepakatan bersama untuk diurus dan
dikelola oleh pusat, seperti: politik luar negeri, moneter, pertahanan dan
keamanan nasional. Sedangkan, kewenangan lainnya menjadi wewenang pemerintah
negara bagian, baik langsung pada level negara bagian atau provinsi, maupun
unit-unit lainnya sesuai dengan kapasitas dan potensi utama dari daerah-daerah
tersebut. Sehingga, banyak pakar politik menyatakan bahwa desentralisasi yang
sesungguhnya ada pada negara federalis, karena pada sistem tersebut dijalankan
desentralisasi secara penuh baik politik, administratif dan fiskal. Alur
mengenai arus kewenangan dalam sistem federal ini dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 1.1
ALUR MENGENAI ARUS
PENYERAHAN KEWENANGAN DALAM SISTEM FEDRALISME
NEGARA FEDERAL/ SERIKAT (PUSAT)
|
NEGARA BAGIAN
|
NEGARA BAGIAN
|
NEGARA BAGIAN
|
NEGARA BAGIAN
|
|
|
|
NEGARA BAGIAN
|
Sumber: Telaahan konsep
arus kewenangan pada Negara Federal, Diolah 2011
Federalisme secara konseptual menurut
artikel “Positive experiences of
autonomous regions as a source of inspiration for conflict resolution in Europe”
(dalam Suryanto, Ed. 2008:16), merupakan sebuah struktur konstitusional,
dimana negara dipecah ke dalam beberapa entitas (lokal) yang terfederasi,
seperti The Cantons (Swiss) atau The Lander (Jerman dan Austria) dengan
sebuah divisi kekuasaan yang seimbang. Untuk menjamin representasi yang adil, cabang
legislatif dibagi kedalam dua kamar (Bicameral).
Kamar yang pertama mempresentasikan entitas
yang terfederasi, dan yang kedua merupakan represntasi dari negara. Swiss
merupakan salah satu contoh sebagai negara yang paling terfederalisasi di
eropa. Negara ini merupakan entitas yang terfederasi yang ikut menjadi
perhatian dan tercakup dalam penciptaan dan definisi kinsep negara, dimana
kekuasaan sebagai sebuah sistem, tidak didasarkan pada the federal state oleh konstitusi yang berhubungan dengan entitas
federal. Jerman dan Rusia juga memiliki sistem dimana kekuasaan dipisahkan
mejadi dua yaitu untuk negara (federal) dan wilayah-wilayah federal.
Walaupun ditemukan perbedaan-perbedaan,
yakni ketika kekuasaan federasi dan negara federal memiliki dasar legal dalam
konstitusi, namun kekuasaan otonomi dari wilayah otonom, dapat ditransfer atau
didelegasikan oleh legalistif nasional. Intinya, otonomi secara umum
diimplementasikan dalam wilayah yang mempunyai karakteristik identitas budaya
yang khusus.
Sehubungan dengan pembahasan di atas,
maka dapat kita kemukakan beberpa intisari yang mencerminkan (mencirikan) Sistem
Negara federal, antara lain:
a. Pemilik
kedaulatan pada dasarnya ada di Negara-negara bagian. Dan berdasarkan
kesepakatan bersama dilimpahkan kepada Negara federal (sebagai pengikat
kesatuannya).
b. Terkait
dengan point di atas, maka kedaulatan dalam Negara federal tidak bersifat
tunggal, karena berada di masing-masing Negara bagian.
c. Alur
mengenai arus kewenangan bersifat battom-up, artinya Negara-negara bagian yang
melimpahkan sebagian kewenangan kepada Negara federal (pusat) berdasarkan
kesepakatan (biasanya pada awal pembentukannya).
d. Negara
federal (pusat) hanya menjalankan sebagian (sisa) kewenangan yang diberikan
oleh Negara bagian.
e. Negara
bagian tetap memiliki kewenangan ke luar meski terbatas.
f. Pada
prinsipnya Negara bagian dapat membentuk struktur pemerintahannya
sendiri-sendiri sesuai dengan nilai, kultur atau sejarah yang dimilikinya, tapi
pada umumnya, struktur yang dibentuk tidak jauh berbeda satu dengan yang
lainnya.
2.
Negara
Kesatuan (Unitarianisme)
Prinsip
dasar yang dianut oleh Negara kesatuan, berbeda dengan prinsip yang dianut oleh
Negara federasi, khususnya yang berhubungan dengan masalah kedaulatan dan
kewenangan. Kedaulatan di Negara kesatuan bersifat tunggal dan tidak dibagi
kepada daerah atau unit-unit pemerintahan dibawahnya, konsep Negara kesatuan
menurut artikel “Positive experiences of
autonomous regions as a source of inspiration for conflict resolution in
Europe” dikatakan bahwa, “dalam Negara kesatuan, semua kekuasaan prinsipnya
merupakan milik pemerintah pusat, tapi status khusus diberikan pada entitas
(daerah/satuan unit tertentu) yang mempunyai tanggung jawab atas wilayah yang
diberikan berdasarkan statusnya. Untuk beberapa Negara, otonomi
merepresentasikan suatu bentuk desentralisasi melalui pendelegasian kewenangan”
(dalam Suryanto, Ed.,2008;17).
Dalam
system Negara kesatuan pemerintahan daerah, sebenarnya tidak memiliki
kedaulatan, baik ke luar maupun kedalam. Pemerintahan daerah hanya memiliki
kewenangan yang diserahkan oleh pusat, dan hanya bersifat ke dalam. Kedaulatan
dan kewenangan merupakan dua hal yang sangat berbeda, dimana kedaulatan
merupakan kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu Negara, oleh karenanya,
salah satu sifatnya adalah permanen (tetap) dan tidak dapat dibagi (indivisible). Sedangkan, kewenangan
merupakan kekuasaan untuk melaksanakan sesuatu tugas dan fungsi atas dasar
pemberian atau pelimpahan atau pendelegasian. Kewenangan tidak bersifat
permanen, artinya dapat dicabut atau ditambah, dan juga dapat dibagi sebagian
atau seluruhnya. Konsepsi inilah yang mencerminkan bahwa kedaulatan dalam
Negara kesatuan bersifat tunggal, karena tidak dapat dibagi dan hanya menjadi
milik Negara, Mekanisme pendistribusian kewenangan dari pusat kepada daerah
dalam Negara kesatuan hanya sekedar menjalankan kewenangan sisa (residu) dari
pemerintah pusat dengan mekanisme yang telah ditentukan, apakah dilimpahkan,
diserahkan atau didelegasikan.
Sedangkan,
pada system Federalisme, Negara bagian yang memiliki kedaulatan ke dalam dan keluar.
Hal ini disebabkan karena dalam Negara federalisme, pemilik kedaulatan adalah
Negara-negara bagian yang masing-masing merupakan Negara berdaulat (merdeka)
dan otonom. Sedangkan, Negara federal (pusat) pada dasarnya menerima sebagian
kedaulatan dan kewenangan yang diberikan oleh Negara-negara bagian berdasarkan
kesepakatan bersama dan dituangkan dalam suatu konstitusi Negara.
Seperti
yang dikatakan oleh Cohen dan Peterson (1999;19), bahwa, “ Unitary system need not be legally decentralized, but most are trough a
hicrarchy of lower-level units that have specified geographical jurisdiction.
In unitary system, the center maintains ultimate sovereighnity over public
sector task decentralized to lower-level units --“ system Negara kesatuan
tidak secara hukum mendesentralisasikan, tetapi lebih banyak melalui hirarki
pada tingkatan di bawahnya yang mempunyai spesifikasi geografik wilayah hukum.
Dalam system Negara kesatuan, pusat memelihara kedaulatan terbatas pada
kegiatan-kegiatan sector public yang didesentralisasikan kepada unit-unit
pemerintahan di bawahnya (dalam Sruyanto, Ed., 2008;17).
Beberapa
ciri yang sekaligus juga mencerminkan prinsip-prinsip Negara kesatuan, antara
lain adalah:
a) Kedaulatan
pada Negara kesatuan bersifat mutlak/tunggal, yaitu hanya ada pada Negara
(Pusat).
b) Alur
pelimpahan/penyerahan kewenangan/urusan bersifat Top Down (dari pusat kepada Daerah).
c) Kewenangan
yang sudah dilimpahkan kepada daerah, dapat ditarik kembali apabila dipandang
perlu atau karena daerah dipandang tidak mampu menjalankan fungsi otonominya.
d) Secara
geografis, daerah merupakan bagian/wilayah dari Negara (pusat) yang apabila
dipandang perlu dapat dihapuskan/digabungkan.
e) Daerah
hanya memiliki kewenangan sesuai dengan yang diterimanya dari pusat, dan tidak
memiliki kedaulatan (keluar).
Selanjutnya, perbedaan konsep otonomi
daerah di Negara kesatuan dengan federal, terjadi karena masing-masing memiliki
prinsip dasar yang berbeda pula. Oleh karena itu, terdapat perbedaan yang
mendasar antara konsep otonomi (desentralisasi) yang dianut oleh Negara
kesatuan dengan Negara federalism, yaitu:
a) Dalam
Negara federal prinsip kedaulatannya tidak bersifat tunggal, sedangkan Negara
kesatuan bersifat tunggal.
b) Pemilik
kedaulatan dalam Negara federal adalah Negara bagian (bukan pusat), sedangkan,
dalam Negara kesatuan, pemilik kedaulatannya adalah pemerintah pusat.
c) Alur
pelimpahan/penyerahan wewenang di Negara federal bersifat bottom-up, sedangkan dalam Negara kesatuan, bersifat top down.
d) Negara
federal menjalankan kewenangan sisa (residu) yang diberikan oleh Negara bagian,
sedangkan dalam Negara kesatuan, daerah yang menjalankan kewenangan sisa
(residu).
Secara umum, berkenaan dengan alur
mengenai arus kewenangan pada Negara kesatuan dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 1.2
ALUR MENGENAI ARUS PENYERAHAN
KEWENANGAN DALAM NEGARA KESATUAN
|
|
DAERAH OTONOM
|
DAERAH OTONOM
|
DAERAH OTONOM
|
DAERAH OTONOM
|
DAERAH OTONOM
|
|
PEMERINTAH PUSAT
|
NEGARA KESATUAN
|
Sumber:
Telaahan konsep
arus kewenangan kepada Negara kesatuan, diolah 2011.
C.
JENIS-JENIS DESENTRALISASI
1.
Desentralisasi Teritorial dan Desentralisasi Fungsional
Dalam buku ini, pembagiann lainnya dalam
konsepsi desentralisasi dapat dilihat berdasarkan lingkup institusionalnya. Dinyatakan sebagai lingkup institusional,
karena dalam hal ini, pemerintahan pusat maupun daerah dan organisasi yang
terlibat di dalamnya adalah merupakan institusi/lembaga dalam arti yang luas.
Berdasarkan lingkup institusional
tersebut, desentralisasi terbagi menjadi dua, yaitu: desentralisasi teritorial atau kewilayahan dan desentralisasi
fungsional. Desentralisasi teritorial berarti pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada wilayah di dalam Negara. Konsep ini membahas tatanan
system pemerintahan daerah, yang implikasinya melahirkan daerah otonom (konsep
pemerintahan daerah).
Desentralisasi fungsional berarti
pelimpahan wewenang dari organisasi fungsional (atau teknis) di tingkat pusat
kepada unit-unit di bawahnya, yang secara langsung berhubungan dengan
operasionalisasi kegiatan. Oleh karena itu, konsep ini membahas dalam tatanan
organisasi (institusi) pusat dan daerah, dan implikasinya adalah melahirkan
instansi-instansi otonom (dinas-dinas) di daerah atau
divisi-divisi/bagian-bagian pada konteks organisasi.
Dengan demikian, prinsip pendelegasian
wewenang dapat terjadi dari pusat (pemerintahan maupun organisasi) ke
bagian-bagiannya/wilayah-wilayahnya, baik bersifat kewilayahan maupun
kefungsian. Prinsip ini mengacu kepada fakta adanya span of control dari setiap organisasi sehingga organisasi perlu
diselenggarakan secara “bersama-sama) (Nugroho,2000;42-44, dalam Suryanto,
Ed,2008:19).
Dalam prakteknya, penerapan kedua jenis
desentralisasi ini dapat berjalan secara bersamaan dalam satu system yang sama.
Misalnya: ketika pemerintah indonesia secara konstitusional menerapkan system
otonomi daerah, maka penggunaan azas desentralisasi yang digunakan adalah azas
kewilayahan untuk hal yang bersangkutan dengan pemerintahan daerah (daerah
otonom). Danm pada saat bersamaan, instansi pemerintah (kementerian/lembaga)
memberikan desentralisasi kewenangan kepada instansi-instansi daerah untuk
menjalankan urusan-urusan yang terkait tugas dan fungsinya.
ALUR DAN HUBUNGAN
DESENTRALISASI KEWILAYAHAN / TERITORIAL DENGAN DESENTRALISASI FUNGSIONAL
|
DESENTRALISASI
FUNGSIONAL
|
DESENTRALISASI
KEWILAYAHAN / TERITORIAL
|
Daerah Otonom
|
Daerah Otonom
|
Daerah Otonom
|
|
-
INSTANSI VERTIKAL
-
DIVISI / BAGIAN
|
-
INSTANSI VERTIKAL
-
DIVISI / BAGIAN
|
-
INSTANSI VERTIKAL
-
DIVISI / BAGIAN
|
PEMERINTAH PUSAT
|
ORGANISASI PUSAT
|
2.Desentralisasi
Administratif, Fiskal dan Politik
Dalam konsep yang lebih luas,
desentralisasi dibagi atas desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal
dan desentralisasi politik. Rondinelli dan Nellis sebagaimana dikutip oleh
Abdullah (2005:64), mendefinisikan desentralisasi administratif sebagai transfer
tanggung jawab untuk merencanakan, memanajemen, menaikan dan mengalokasikan
sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agennya kepada subordinat atau
pemerintah daerah, badan semi otonom, perusahaan, otoritas regional atau
fungsional, NGO, atau organisasi-organisasi volunteer
(dalam Suryanto, Ed.:, 2008:19).
Selanjutnya, dengan merefer kepada
Litvac dan Seddon (1998:3), Suryanto (Ed., 2008:19) mengemukakan bahwa
desentralisasi fiskal adalah transfer kewenangan di area tanggung jawab
finansial dan pembuatan keputusan termasuk memenuhi keuangan sendiri, ekspansi
pendapatan lokal, transfer pendapatan pajak dan otoritas untuk meminjam dan
memobilisasi sumber-sumber pemerintah daerah melalui jaminan peminjaman.
Sedangkan, desentralisasi politik
mencakup transfer kekuasaan administratif, keuangan dan politik dan politik
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, termasuk penciptaan kekuasaan
masyarakat untuk menentukan bentuk pemerintahan mereka, perwalian, kebijakan
dan pelayanan (UNDP, 1999:10). Hal ini dapat mendorong proses demokrasi melalui
pemberian pengaruh kepada rakyat atau perwakilannya dalam formulasi dan
implementasi kebijakan (Litvack dan Seddon, 1998:2). Artinya, desentralisasi
yang banyak dijalankan di negara kesatuan lebih terbatas pada desentralisasi
administratif (dalam Suryanto, 2008:15-20).
3.
Desentralisasi
Simestris Atau Asimetris
UU No. 32 tahun 2004 menunjukan
bahwa pengembangan desentralisasi di indonesia cenderung ke dalam pola yang
simetris. Hal ini karena desentralisasi hanya memberikan ruang yang sempit
kepada daerah untuk melaksanakan urusan pilihan. Sebagian besar dari urusan
pemerintahan yang didesentralisasikan bersifat wajib bagi daerah. Artinya,
daerah harus mengembangkan kompetensi di luar urusan wajib sangat sempit karena
terbatasnya urusan pilihan yang tersedia bagi daerah.
Pemberlakuan desentralisasi dengan
pola simetris ini dipandang oleh beberapa kalangan sudah tidak lagi relevan.
Karena desentralisasi yang harusnya didorong adalah desentralisasi asimetris
dengan memberikan urusan kepada daerah sesuai dengan kebutuhan dan
kompetensinya. Namun wacana ini kurang mendapat perhatian.
Setidaknya terdapat tiga alasan
penting mengapa desentralisasi asimetris tidak mendapat perhatian, yaitu : pertama, persepsi yang salah tentang
konsep negara kesatuan yang sering kali dipahami secara sempit sebagai
penyeragaman urusan pemerintahan yang didesentralisasikan ke daerah. Kedua, kekhawatiran berlebihan para
pembuat kebijakan tentang ketidakmampuan daerah untuk secara bertanggungjawab
memutuskan urusan yang akan dikelola. Ketiga,
keengganan pemerintah untuk bekerja keras merumuskan kembali formula
desentralisasi fiskal terkait dengan implikasi dari penerapan kebijakan
desentralisasi asimetris.
Melihat besarnya keragaman antar
daerah maka pilihan kebijakan desentralisasi yang seragam sebagaimana telah
dilaksanakan selama satu dekade terakhir ini perlu ditinjau kembali. Alasan
yang dapat dikemukakan antara lain adalah : pertama¸
model desentralisasi yang seragam dalam keanekaragaman daerah yang mencolok
bertentangan dengan hukum alamdan nilai yang terkandung dalam desentralisasi
itu sendiri. Dengan menerapkan desentralisasi yang seragam, indonesia
kehilangan peluang untuk memanfaatkan secara optimal keragaman daerah untuk
mendorong kemajuan daerah sesuai dengan aspirasi, potensi, dan kapasitas
daerah. Esensi dari desentralisasi adalah memberikan peluang dan kemampuan
kepada daerah untuk merespon kondisi daerah sesuai dengan kompetensi dan
aspirasi pemerintah daerah dan pemangku kepentingannya. Ketika pembagian urusan
dilakukan secara seragam untuk semua daerah sementara keragaman antardaerah
sangat tinggi maka desentralisasi menjadi kurang bermakna. Peluang untuk
membangun daerah sesuai dengan keunggulan daerah dan kapasitasnya untuk
menjawab tantangan yang dihadapinya menjadi sirna.
Kedua,
desentralisasi
yang seragam mengabaikan kenyataan bahwa daerah memiliki tingkat kematangan,
cakupan wilayah, potensi, dan jumlah penduduk yang berbeda-beda. Karena itu,
mereka perlu diperlakukan secara berbeda. Daerah otonom baru dengan kematangan
yang rendah cenderung memiliki kapasitas yang rendah dalam melayani warganya.
Daerah dengan wilayah yang sempit dan jumlah penduduk yang sedikit mungkin
tidak perlu memiliki urusan pemerintahan yang banyak. Dilihat dar skala
ekonominya, pengelolaan urusan pemerintahan tertentu oleh daerah yang seperti
itu menjadi tidak efisien. Darah yang memiliki potensi yang berbeda seharusnya
mengembangkan kompetensi yang berbeda pula. Daerah menjadi tidak dapat
memfokuskan diri terhadap apa yang menjadi keunggulan dan kompetensi yang
dimiliki perlu dikembangkannya.
Ketiga,
model
desentralisasi seragam yang sekarang berlaku juga mempersulit daerah dalam
pengembangan struktur birokrasi yang efisien dan aparatur yang profesional,
mengingat kompetensi dan kebutuhan yang berbeda-beda.
Desentralisasi asimetris,
bagaimanapun, memberikan ruang kepada daerah untuk mengembangkan kapasitas
secara desentralistis. Hal ini berbeda dengan desentralisasi simetris. Selama
ini, pengembangan kapasitas daerah cenderung dilakukan secara sentralistis dan
kurang memperhatikan diversitas daerah. Pengembangan aparatur daerah cenderung
dilakukan berbasis pada pendekatan supply
daripada kebutuhan daerah. Diversitas daerah yang seharusnya dilihat sebagai
kekayaan daerah dan menjadi dasar dalam pengembangan kapasitas seringkali
terabaikan. Akibatnya missmatch dalam
investasi pengembangan kapasitas tidak dapat dihindari. Implikasinya adalah
kelembagaan disfungsional dan ketidakberdayaan aparatur menjadi hal yang lumrah
dijumpai dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pengembangan model desentralisasi
yang asimetris perlu dipikirkan secara serius dan seksama oleh pemerintah dan
para pemangku kepentingan lainnya. Upaya untuk mendorong desentralisasi
asimetris dapat dilakukan melalui cara yang sederhana, yaitu dengan membatasi
urusan wajib yang diberikan kepada daerah terutama untuk pelayanan dasar dan
menjadikan sisanya sebagai urusan pilihan. Daerah otonom wajib menyelenggarakan
urusanyang menjadi kebutuhan, dasar warganya, sedangkan untuk selebihnya
terserah pada masing-masing daerah untuk mengelola urusan sesuai dengan
kompetensi dan kebutuhan daerah. Dengan cara seperti itu daerah memiliki
peluang untuk berkembang sesuai dengan kapasitas, aspirasi dan tantangan yang
dihadapinya (Dwiyanto, 2011 : 273).
D.
BENTUK DESENTRALISASI DAN IMPLIKASINYA
1)
Terhadap pengembangan kapasitas daerah
Aspek
penyelenggaraan pemerintah
|
Bentuk
Desentralisasi
|
|
Simetris
|
Asimetris
|
|
Asumsi tentang kondisi, tantangan, dan
kebutuhan daerah
|
Daerah memiliki kondisi dan tantangan
yang serupa dan seragam
|
Pengakuan terhadap diversitas daerah
dalam banyak aspek dan karakteristik sosial budaya, geografis, dan
demografis.
|
Struktur kelembagaan : jumlah satuan, nomenklatur,
dan pola hubungan
|
Relatif seragam antar daerah
|
Bervariasi antar daerah sesuai dengan
kebutuhan
|
Kompetensi aparatur
|
Daerah membutuhkan kapasitas aparatur
yang relatif sama
|
Daerah memerlukan aparatur dengan
kapasitas yang berbeda-beda
|
Pengembangan kapasitas daerah
|
Sentralisasi
|
Desentralisasi
|
Sumber : Dwiyatnto (2011 : 274)
Salah satu tuntutan reformasi total
yang terjadi di indonesia pasca reformasi tahun 1998 adalah tuntutan otonom
yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Tuntutan ini muncul karena ada
beberapa alasan yang mendasarinya, yaitu :
Pertama,
intervensi
pemerintah pusat yang terlalu besar di masa lalu telah menimbulkan masalah
rendahnya kapabilitas dan efektifitas pemerintahan daerah dalam mendorong
proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah. Arahan dan statutory requirement yang terlalu besar
dari pemerintah pusat tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah
cenderung mati, sehingga pemerintah daerah seringkali menjadikan pemenuhan
peraturan sebagai tujuan dan bukan sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat. Besarnya arahan dari pemerintah pusat itu didasarkan pada
dua alasan utama, yaitu: 1) untuk menjamin stabilitas nasional, dan 2) karena kondisi
sumber daya manusia daerah yang dirasa relatif masih lemah. Karena dua alasan
inilah, maka Sentralisasi otoritas dipandang sebagai prasyarat untuk
menciptakan persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan
ekonomi.
Kedua, tuntutan pemberian otonomi
itu juga muncul sebagai jawaban untuk memeriksa eranew game yang membawa new
rules pada semua aspek kehidupan manusia dimasa yang akan datang. Di era
seperti ini, dimana globalization cascade
sudah semakin meluas, pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada banyak
persoalan, seperti pada perdagangan internasional, informasi dan ide, serta
transaksi keuangan. Di masa depan, pemerintah sudah untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan semua
masalah yang dihaapi oleh masyarakat.
Berangkat dari persoalan
itukemudian dilakukan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah
dalam bentuk pemberian otonomi dan diwujudkan dengan asas desentralisasi.
Desentralilasi menurut UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepala daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Urusan penyelenggaraan pemerintahan
dalam kerangka otonomi itu dirinci dalam bab pembagian urusan pemerintahan.
Dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan. Pemerintah (pusat) menyelenggarakan sendiri atau dapat
melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah di daerah
atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan / atau pemerintahan
desa.Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar
urusan pemerintahan, Pemerintah dapat :
1)
Menyelenggarakan sendiri sebagai urusan
pemerintahan;
2)
Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan
kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah; atau
3)
Menugaskan sebagian urusan kepada
pemerintahan daerah dan / atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas
pembantuan.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan,
sesuai dengan pasal 11 UU No. 32 tahun 2004 juga didasarkan pada kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efesiensi dengan memperhatikan keserasian
hubungan antar susunan pemerintahan. Dalam konteks ini, pelaksanaan hubungan
kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota
atau antar pemerintah daerah bersifat saling terkait , tergantung, dan sinergis
sebagai satu sistem pemerintahan yang utuh.
Dalam hal kriteria eksternalitas, penyelenggara suatu urusan pemerintahan
ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Sedangkan, kriteria akuntabilitas dimaksudkan bahwa penanggung jawab
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya
dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Dan, kriteria efisiensi dimaksudkan bahwa penyelenggara suatu urusan
pemerintahan ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling
tinggi yang dapat diperoleh.
Dalam konteks otonomi daerah, urusan
pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah disertai
dengan sumber pendanaan sesuai dengan urusan yang dikonsentrasikan, pengalihan
sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang disentralisasikan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi / kabupaten /
kota merupakan urusan dalam skala provinsi / kabupaten / kota yang meliputi :
1) Perencanaan
dan pengendalian pembangunan;
2) Perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3) Penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4) Penyediaan
sarana dan prasarana umum;
5) Penanganan
bidang kesehatan
6) Penyelenggaraan
pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
7) Penyelenggaraan
masalah sosial litas kabupaten / kota;
8) Pelayanan
bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten / kota;
9) Fasilitas
pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten /
kota;
10) Pengendalian
lingkungan hidup;
11) Pelayanan
pertahanan termasuk lintas kabupaten / kota
12) Pelayanan
kependudukan dan catatan sipil;
13) Pelayanan
administrasi umum pemeritahan;
14) Pelayanan
administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten / kota;
15) Penyelenggaraan
pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten / kota;
dan,
16) Urusan
wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Dalam hal sumber pendanaan
penyelenggaraan pemerintahan dilakukan penataan hubungan keungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang meliputi : pemberian sumber-sumber
keuangan.
F. TUJUAN DARI
DESENTRALISASI
- mencegah pemusatan keuangan;
- sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah untuk mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
- Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat local sehingga dapat lebih realistis.
G. BENTUK KEGIATAN UTAMA DESENTRALISASI
Desentralisasi
dapat dilakukan melalui empat bentuk kegiatan utama, yaitu:
1. Dekonsentrasi wewenang administratif
Dekonsentrasi berupa pergeseran volume pekerjaan dari departemen pusat
kepada perwakilannya yang ada di daerah tanpa adanya penyerahan atau pelimpahan
kewenangan untuk mengambil keputusan atau keleluasaan untuk membuat keputusan.
2. Delegasi kepada penguasa otoritas
Delegasi adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewewenangan
manajerial untuk melakukan tugas –tugas khusus kepada suatu organisasi yang
secara langsung berada di bawah pengawasan pusat.
3. Devolusi kepada pemerintah daerah
Devolusi adalah kondisi dimana pemerintah pusat membentuk unit-unit
pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi
tertentu kepada unit-unit itu untuk dilaksanakan secara mandiri. Devolusi
adalah bentuk desentralisasi yang lebih ekstensif untuk merujuk pada situasi di
mana pemerintah pusat mentransfer kewenangan kepada pemerintah daerah dalam hal
pengambilan keputusan , keuangan dan manajemen.
4. Pemindahan fungsi dari pemerintah kepada swasta
Yang di sebut sebagai pemindahan fungsi dari pemerintahan kepada swasta
atau privatisasi adalah menyerahkan beberapa otoritas dalam perencanaan dan
tanggung jawab admistrasi tertentu kepada organisasi swasta.
H. DAMPAK BENTUK PEMERINTAHAN
DESENTRALISASI
1.
Segi Ekonomi
Dari segi
ekonomi banyak sekali keuntungan dari penerapan sistem desentralisasi ini
dimana pemerintahan daerah akan mudah untuk mengelola sumber daya alam yang
dimilikinya, dengan demikian apabila sumber daya alam yang dimiliki telah
dikelola secara maksimal maka pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat akan
meningkat. Tetapi hal ini juga rentan terhadap terjadinya kasus korupsi
2.
Segi Sosial
Budaya
Dengan
diadakannya desentralisasi, akan memperkuat ikatan sosial budaya pada suatu
daerah. Karena dengan diterapkannya sistem desentralisasi ini pemerintahan
daerah akan dengan mudah untuk mengembangkan kebudayaan yang dimiliki oleh
daerah tersebut. Bahkan kebudayaan tersebut dapat dikembangkan dan di
perkenalkan kepada daerah lain. Yang nantinya merupakan salah satu potensi
daerah tersebut.
Sedangkan
dampak negatif dari desentralisasi pada segi sosial budaya adalah masing-
masing daerah berlomba-lomba untuk menonjolkan kebudayaannya masing-masing.
Sehingga, secara tidak langsung ikut melunturkan kesatuan yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia itu sendiri.
3.
Segi
Keamanan dan Politik
Dengan
diadakannya desentralisasi merupakan suatu upaya untuk mempertahankan kesatuan
Negara Indonesia, karena dengan diterapkannya kebijaksanaan ini akan bisa
meredam daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dengan NKRI, (daerah-daerah
yang merasa kurang puas dengan sistem atau apa saja yang menyangkut NKRI).
Tetapi disatu sisi desentralisasi berpotensi menyulut konflik antar daerah.
Seperti
dengan beberapa dari kabupaten menggambarkan garis etnis dan meningkatnya
ekonomi yang cepat bagi politik daerah, ada ketakutan akan terjadi konflik baru
dalam soal tanah, sumber daya atau perbatasan dan adanya politisi lokal yang
memanipulasi ketegangan untuk kepentingan personal. Namun begitu, proses
desentralisasi juga telah meningkatkan prospek pencegahan dan manajemen konflik
yang lebih baik melalui munculnya pemerintahan lokal yang lebih dipercaya
Dibidang
politik, dampak positif yang didapat melalui desentralisasi adalah sebagian
besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah
tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat. Hal ini menyebabkan
pemerintah daerah lebih aktif dalam mengelola daerahnya.
Tetapi,
dampak negatif yang terlihat dari sistem ini adalah euforia yang berlebihan di
mana wewenang tersebut hanya mementingkat kepentingan golongan dan kelompok
serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut
terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menurut
UU NO. 23 TAHUN 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh
Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi.
Tujuan
dari desntralisasi, sebagai berikut: mencegah pemusatan keuangan; sebagai
usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah untuk mengikutsertakan rakyat
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan; Penyusunan
program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat local sehingga
dapat lebih realistis.
Prinsip
dasar yang dianut pada sistem federalisme adalah non-sentralisasi artinya bahwa pada sistem federalisme, asas
desentralisasi merupakan principal basic
yang mendasari praktek penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini menyangkut asal
kedaulatan dari negara tersebut. Kedaulatan yang dimiliki oleh negara federal
berasal dari negara-negara berdaulat yang menyerahkan kewenangan sisa kepada
pemerintah nasional (pusat) untuk dikelola bagi kepentingan bersama. Kedaulatan
di Negara kesatuan bersifat tunggal dan tidak dibagi kepada daerah atau
unit-unit pemerintahan dibawahnya, konsep Negara kesatuan menurut artikel “Positive experiences of autonomous regions
as a source of inspiration for conflict resolution in Europe” dikatakan
bahwa, “dalam Negara kesatuan, semua kekuasaan prinsipnya merupakan milik
pemerintah pusat, tapi status khusus diberikan pada entitas (daerah/satuan unit
tertentu) yang mempunyai tanggung jawab atas wilayah yang diberikan berdasarkan
statusnya.
Penyelenggaraan
urusan pemerintahan, didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan
efesiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
B. SARAN
Dengan
makalah ini penulis berharap agar pembaca dapat memahami tentang arti dari
desentralisasi, jenis-jenis desentralisasi, dan bagaimana studinya di Indonesia
serta memahami dampak dari sistem desentralisasi ini. Semoga makalah ini dapat
berguna bagi pembaca. Penulis juga mengharapkan kritik yang membangun agar
penulis bisa lebih baik lagi.
kak daftar pustkanya dari mana yah
BalasHapusBenar
BalasHapus